Teuku Markam, Nestapa Pejuang dan Pengusaha Kaya Aceh Penyumbang 28 Kilogram Emas Monas
Siapa yang tidak tahu dengan Tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, Terkhusus untuk warga Negara indonesia.
Monumen Nasional tersebut populer disingkat dengan nama Monas, Tugu Monas adalah monumen yang memilki tinggi 132 meter "433 kaki" Tugu Monas tersebut didirikan untuk mengenang jasa para perlawanan dan para pejuang Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari Belanda.
Pembangunan monumen Tugu Monas dimulai pada 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Indonesia Sukarno, Tugu Monas dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975.
Tugu Monas ini dimahkotai dengan lidah api yang dilapisi oleh lembaran emas yang melambangkan sebagai semangat para perjuangan yang menyala-nyala. Tugu Monas terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.
Tapi, pastinya banyak diantara kita yang tidak mengetahui bagaimana latar belakang berdirinya tugu monas dan orang-orang besar di belakang pendiriannya. Bahkan, banyak juga diantara kita yang tidak mengetahui ada 38 kg emas yang dipajang di puncak Tugu Monas "Monumen Nasional".
Beberapa sumber menyebutkan, dari 38 kilogram emas itu, sebanyak 28 kg emas di antaranya adalah sumbangan dari Teuku Markam, Teuku Markam merupakan salah seorang saudagar dari Aceh, beliau pernah menjadi orang terkaya seluruh Indonesia. Sekarang mungkin kita tidak mengenal Teuku Markam tapi pada zaman itu Teuku Markam merupakan saudagar terkaya yang sangat baik hati
Orang-orang hanya mengetahui bahwa emas itu memang benar sumbangan saudagar asal Aceh. Namun tak banyak yang mengetahui, ternyata Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir jasa beliau untuk kepentingan negeri ini. Karya Teuku Markam lainnya adalah, beliau membebaskan lahan Senayan Jakarta untuk dijadikan pusat olahraga terbesar di Indonesia.
Teuku Markam juga Memberikan sumbangan dana kepada orde lama untuk membangun jalan Banda Aceh-Medan, dan juga sumbangan dana untuk pembangunan insfrastruktur di Aceh dan juga di Jawa Barat, Teuku Markam juga menyumbangkan dana untuk pembangunan jalan-jalan yang ada di Jawa Barat.
Mengingat peran Teuku Markam yang begitu besar dalam bisnis dan perekonomian Negara Indonesia, beliau pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno, Ungkap para orangtua Yang hidup zaman Presiden Soekarno .
”Pada rezim Orde Baru, harta Markam dirampas oleh Soeharto.” tuturnya. Namun dia enggan bercerita penyebabnya.
”Jujur, saya kurang paham kalau soal Monas ini dan Markam ini.”
Yuke Ardiati, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya dan Tim Pemugaran Monumen, mengaku pernah membaca cerita tentang Markam yang menyumbang emas untuk Monas di Internet. Dia juga sempat mendengar dari beberapa orang. Namun hingga kini dia belum mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan cerita itu. Belum ada saksi mata proses penyerahan emas dan bukti kuitansi.
”Andai benar, ada atau tidak saksi mata peleburan emas sampai proses pelapisan pada lidah api, jangan-jangan emasnya tidak dipakai?” ujarnya.
Merdeka.com yang menelusuri jejak keluarga Markam tidak mendapat banyak informasi. Dimulai dari rumah kediaman Teuku Syauki Markam, salah satu putra saudagar Aceh itu, di Jalan Bhakti Nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur, Pasar Minggu.
Rumah tembok itu berdiri di halaman bekas pabrik PT Markam Jaya. Indah Yuliarti, istri dari Syauki, menolak menjelaskan soal Markam dan Monas.
”Silakan tanya bapak saja, itu sejarah masa lalu. Saya tidak bisa, takut salah,” kata dia.
Dia lantas menunjukkan alamat kantor suaminya di kompleks rumah toko (ruko) PT Superindo, Jalan Hayam Wuruk nomor 103 H, Jakarta Pusat. Salah satu ruko tua; cat putihya memudar menjadi kekuning-kuningan, itu adalah kantor pemasaran tempat Syauki Markam bekerja selama satu dasawarsa. Ruang kantor yang disekat-sekat dengan triplek ini berada di lantai dua. Lantai dasar digunakan sebagai kantor notaris.
Sofa hitam khusus tamu dibiarkan berdebu. Menurut sekretarisnya, Mungkiatun, perusahaan Syauki bergerak pada bidang penyewaan gedung kantor dan gudang. Di situlah klien-klien bosnya datang. Sayang, Syauki tidak bisa ditemui. Mungki mengatakan, bosnya sedang pergi ke luar kota. Dia tidak bisa memastikan kapan si bos kembali.
“Kadang tidur di kantor, kadang tidur di hotel,” kata dia.
Mungki mengaku hafal betul perilaku bosnya yang tidak pernah bisa dihubungi itu. Dia lantas memberi dua nomor telepon. Benar saja, hingga berita ini diturunkan, beberapa kali nomor Syauki dihubungi tidak diangkat. Begitu juga pesan pendek minta wawancara tidak dibalas, dilansir merdeka.com.
”Bapak tidak pernah bisa dihubungi. Kalau ada yang penting, biasanya dia menelepon ke kantor,” kata Mungki.
Keluarga Markam
Siang itu matahari serasa sejengkal dari kepala ketika seekor kerbau betina mengaso di samping pintu belakang rumah Teuku Syauki Markam. Kerbau itu milik Syauki, salah satu anak dari saudagar kaya asal Aceh, Teuku Markam, yang konon termasuk orang terkaya di Indonesia pada era Soekarno.
Dari luar, sepintas rumah Syauki seperti tanpa penghuni. Lengang. Pintu depan dan belakang rumah tembok bercat putih yang sebagian warnanya berubah kecoklatan itu terkunci.
Bau tengik dari kubangan lumpur bercampur tahi kerbau yang jaraknya kira-kira sedepa dari sekat tembok belakang rumah Syauki menyengat hidung. Setelah beberapa kali merdeka.com mengetuk pintu belakang rumah, Indah Yuliarti, istri Syauki, akhirnya membuka pintu. Tapi saat ditanya soal sejarah keluarga Markam, dia menolak bicara.
”Silakan tanya bapak saja,” kata dia saat ditemui di rumahnya itu, Jalan Bhakti nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bulan lalu.
Besoknya, tempat kerbau itu berubah menjadi tempat parkir mobil Volvo hitam buatan Swedia. Menurut Anton, warga sekitar, mobil itu biasa dikendarai Syauki. Namun saat pintu rumah diketuk, justru Putri, anak ketiga Syauki, yang muncul. Putri mengatakan bapaknya tidak ada di rumah. Saat merdeka.com bertanya soal sejarah Markam, dia memberi penuturan mirip ibunya.
”Silakan tanya bapak saja. Nanti saya salah bicara, bapak bisa marah-marah.”
Tapi dari Putri ada sedikit cerita. Menurut dia, sudah belasan tahun keluarga Markam berpencar ke mana-mana, ada yang tinggal di Aceh, beberapa lagi di Jakarta. Kakeknya, Markam, memang memiliki lebih dari dua istri. Syauki adalah anak dari salah satu istri tua Markam. Menurut perempuan dengan kawat gigi itu, bapaknya memiliki empat saudara kandung.
”Tapi rumah mereka di mana saya tidak tahu, mereka seperti trauma, susah diajak bicara,” ujarnya.
Syauki tidak berhasil ditemui di rumah dan kantornya, komplek rumah toko (ruko) Superindo, di Jalan Hayam Wuruk nomor 103H, Jakarta Pusat. Mungkiatun, pegawai kantor, mengatakan bosnya sedang ke luar kota.
Ketika dua nomor telepon milik Syauki dihubungi, tidak ada jawaban. Menurut Mungki hal itu sudah biasa. Syauki, dia menambahkan, selama ini tidak pernah mau mengangkat telepon dari siapapun, kecuali keluarga dan kantor.
Begitu juga dengan kiriman pesan pendek permintaan wawancara, Syauki tetap tidak membalas. Tapi Mungki sempat bercerita ihwal perjuangan keluarga Markam merebut harta keluarga. Syauki, kata dia, sempat dua kali masuk penjara lantaran sengketa kepemilikan lahan dan perusahaan. Pertama, dia ditahan lantaran terbelit kasus jual beli lahan.
”Yang kedua dia dipenjara lagi karena membacok kepala seorang preman gara-gara sengketa lahan,” tuturnya.
Hal itu dibenarkan Ambarwati, pegawai lain. Dia menyarankan, kalau menemui Syauki hendaknya malam hari, atau lebih dulu membuat janji. Kalau tidak begitu, bosnya sangat sulit ditemui.
Mungkiatun kemudian menghubungkan merdeka.com dengan Cut Martaleta, adik tiri Syauki, yang kebetulan menginap di sebuah wisma tepat di depan kantor. Martaleta adalah anak Markam dari istri yang lain. Namun ketika ditemui, Martaleta juga menolak wawancara.
”Maaf tidak bisa, saya sedang sakit," kata dia.
Akhirnya, melalui pertanyaan singkat lewat pesan pendek, Martaleta bersedia menjawab. Isinya begini:
saya minta disediakan uang Rp 30 juta karena saya jujur dengan Anda, keadaan saya sangat-sangat di bawah standar. Saya minta uang ditransfer di muka, setelah itu kita adakan pertemuan di rumah kakak saya, yang juga ahli waris Haji Teuku Markam.
Jejak kejayaan Markam memang masih ada. Rumah Syauki di Jalan Bhakti, Cilandak Timur, itu misalnya, berdiri di pojok halaman depan gudang PT Markam Jaya, sebuah perusahaan kontraktor milik Markam pada era Presiden Soekarno.
Konon, Teuku Markam merupakan salah satu saudagar Aceh yang sukses di masanya. Dia sempat membangun infrastruktur di Aceh, termasuk jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, dan Tapaktuan.
Markam juga disebut-sebut memiliki sejumlah dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, dan Palembang. Dia tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor pelat baja, besi beton sampai senjata untuk militer. Orang kaya ini juga disebut-sebut menyumbangkan 28 kilogram emasnya buat pembangunan tugu Monas.
Peran Markam mulai hancur dan runtuh ketika kekuasaan Soeharto semakin besar. Ia pernah ditahan delapan tahun dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Harta kekayaannya dirampas. Dia mencoba bangkit setelah keluar dari penjara, tapi tidak bertahan lama. Pengambilalihan harta Markam ini dibenarkan oleh sejarawan Anhar Gonggong.
”Salah satunya Bank Duta milik Soeharto dulu kemungkinan adalah asetnya Markam.”
Ternyata 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari Teuku Markam, salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia. Orang-Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.
Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai sekarang pun, jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.
Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama.
Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan hingga kini, ahli waris Teuku Markam masih berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
Sejarah Kedekatan Markam dan Sukarno
Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu, Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).
Jenderal Gatot Subroto
Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu.
Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.
Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno.
Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia.
Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain.
Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya.
Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno.
Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas).
Sumber: RIAUAIR COM - Sabtu,10 Juni 2017
Belum ada tanggapan untuk "Teuku Markam dan tugu Monas"
Post a Comment